BAB I
1.1 Latar Belakang
Sejak
berabad-abad yang lalu manusia telah mencatat hidup dan kehidupan dengan
berbagai dimensi fenomena perilakunya, sehingga melahirkan berbagai persoalan
dengan sederetan pola-pola kepentingan yang sangat menajam. Sering kali berbagai
kepentingan menjadi buah pertengkaran yang tak kunjung selesai.
Persoalan
menjadi berat ketika sekelompok manusia dihadapkan pada persoalan penindasan
penguasa atas hak-hak yang dimilikinya. Manusia cenderung melakukan
perlawanan atas hak yang semestinya. Perlawanan yang berlabelkan
perjuangan tersebut kadangkala juga mengkorbankan Jiwa dan raga, oleh karenanya
diperlukan sebuah kata sepakat mengenai seperangkat hak tersebut.
Telah
menjadi kenyataan yang harus dibeli bahwa memperjuangkan hak seakan – akan
mendapatkan legitimasi “suci” dan benar, apalagi hal-hal yang dianggap
menyinggung perasaan sekaligus merendahkan martabat manusia.
Hal inilah
yang memungkinkan sebuah bentuk penyadaran melalui pemahaman tentang hak asasi
manusia. Hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah itu sangat penting dihargai dan diberikan kepada
setiap orang. Perkawinan yang dilakukan tidak semata-mata hanya untuk
mendapatkan suatu hak namun juga perkawinan tersebut dilakukan harus sesuai
dengan perundang-undangan yang ada di indonesia yang menyakut batas-batas dan
larangan dalam sebuah perkawinan.
Tuhan menciptakan manusia yang
berlawanan jenis yakni pria dan wanita, atau laki dan perempuan untuk mampu
memutar roda cakra kehidupan. Sehingga disatu sisi manusia berkedudukan sebagai
mahkluk individu dan satu sisi lagi sebagai mahkluk sosial.
Sebagai mahkluk sosial inilah
individu membutuhkan hadirnya sosok individu lain untuk merangkul kelemahan –
serta kelebihannya. Proses penerimaan kekurangan dan kelebihan inilah yang
didasari atas cinta akan membawakan kedua insan ini menuju kepelaminan atau
sering disebut dengan pernikahan.
Wiwaha atau perkawinan dalam
masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting. Dalam Catur
Asrama wiwaha termasuk kedalam grehastha asrama. Disamping itu di dalam agama
hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia seperti dijelaskan
dalam kita Manawa Dharmasasastra bahwa
wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus
dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.
Sebab pernikahan adalah sebuah
kewajiban dalam persefektif agama Hindu, sekirannya setiap individu mesti tahu
dan paham tentang kiat – kiat sebelum melangsungkan pernikahan agar mampu
mewujudkan bagaimana seorang ayah, dan bagaimana seorang ibu serta yang
terpenting bagaimana memelihara anak.
Keberhasilan akan nampak dalam
wiwaha atau perkawinan di antaranya adalah saling mencintai, bekerja sama,
saling mengisi dan bahu menbahu dalam setiap kegiatan rumah tangga.
Terbentuknya keluarga bahagia dan
kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dimana
hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus seimbang dan sama
meskipun swadharmanya berbeda dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Pada kali
ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian, tujuan, hakikat, pelaksanaan
dan sistem wiwaha dan syarat – syarat wiwaha.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian perkawinan ?
2. Bagaimana perkawinan
dalam persepektif Agama Hindu ?
3. Bagaimana
perceraian dan hak asuh anak menurut umat Hindu ?
1.3 Landasan Teori
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2.
Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan
tentang definisi perkawinan sebagai berikut:
‘Perkawinan
ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
- Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
- Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
- Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
- Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan
adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria
dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum
Negara, Agama dan Adat.
BAB II
3.1 Pengertian Perkawinan
Mengenai definisi perkawinan menurut Undang – undang no 1 tahun 1974 pasal
1 disebutkan “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria
dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan definisi tersebut,
dapat dikatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
agama.
Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur batin atau
rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan
legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi hubungan
badan, akan tetapi lebih daripada itu.
3.2 Pernikahan atau Pawiwahan dalam persepentif Agama
Hindu
a. Pengertian Pawiwahan dalam Agama hindu
Dari sudut
pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal
dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta
pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Berdasarkan
kitab Manusmrti, perkawinan bersifat
religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seorang untuk
mempunyai keturuan dan menebus dosa – dosa orang tua dengan jalan melahirkan
seorang anak suputra. Putra dalam bahasa sanskerta diartikan sebagai ia yang
menyebrangan atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
Perkawinan atau sering disebut di Bali wiwaha selalu identik dengan upacara
yadnya, yang menyebabkan lembaga perkawinan tidak dapat terpisahkan dengan
lembaga agama. Sehingga menjadikannya sebagai hukum Hindu dan sebuah
persyaratan.
Legalnya perkawinan adalah ditandai dengan pelaksanaan ritual yakni upacara
wiwaha minimal upacara byakala.
Suatu perkawinan dianggap sah apabila ada saksi. Dalam upacara perkawinan
(byakala) disebut sebagai tri upasaksi (tiga saksi) yaitu dewa saksi, manusa
saksi dan bhuta saksi. Dewa saksi adalah saksi dewa yang dimohonkan untuk
meyaksikan upacara pawiwahan.
Manusa saksi adalah saksi manusia, dalam hal ini semua orang yag hadir pada
saat pelaksanaan upacara utamanya, seperti pemangku, dan perangkat Desa
(bendesa adat, kelihan dinas, dsb). Bhuta saksi adalah saksi para bhuta kala.
Pada saat dilaksanakannya upacara byakala kita membakar tetimpug (berupa
potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbu Bhuta kala untuk
hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhandengan harapan tidak
mengganggu jalannya upacara bahkan ikut mengaja keamanan secara niskala serta
ikut sebagai saksi.
Pada umumnya Undang – undang secara prinsip mengandung asas –asas yang
dapat membawakan kepada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga yakni :
1)
Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum agama yang dianut dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang – udangan yang berlaku.
2)
Undang – undang mengandung asas monogami.
3)
Pasangan suam istri harus masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan pernikahan.
4)
Undang – undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
perceraian.
5)
Hak dan kedudukan suami – istri dalam kehidupan
berumah tangga dan masyarakat diatur dalam undang – undang no 1 tahun 1974.
b. Tujuan Perkawinan
Pada
dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial,
sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu
pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah
menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai
naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang.
Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan
telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja
nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat
sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk
menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu
diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk
dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa
wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan
oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau
penebusan dosa para leluhur akan dapat dilakukan oleh keturunannya.
Tujuan utama dapat pertama dalam wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan
yang suputra yakni anak yang hormat kepada orang tuanya, cinta kasih terhadap
sesama dan berbhakti kepada tuhan.
Dalam Nitisastra dijelaskan bahwa :
“ orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dengan
orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk
kalah keutamaannya dengan membuat satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala
dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak suputra. Demikian keutamaan
anak suputra”.
Menurut I Made Titib dalam makalah “
Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan
perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1.
Dharmasampati
Kedua mempelai secara bersama-sama
melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti
melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat
dilaksanakan secara sempurna.
2.
Praja
Kedua mempelai mampu melahirkan
keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui
Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi
hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna)
dan kepada para guru (Rsi rna).
3.
Rati
Kedua mempelai dapat menikmati
kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak
bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu
dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan
bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab
suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung
sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava
Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah
stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung
sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai
suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu
kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau
wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam
ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak
bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain”
(Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas
nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan
sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai
tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia
dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan
ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta
tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam
tatra wai dhruwam”
“ Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan
istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti
kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah
mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang
putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia
(jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
Dalam kehidupan berumah tangga
adapun kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu :
1)
Melanjutkan keturunan
2)
Membina rumah tangga
3)
Bermasyarakat
4)
Melaksanakan panca yadnya
c. Hakihat Perkawinan
Pawiwahan dalam agama hindu adalah yadnya sehingga orang yang memasuki
ikatan perkawinan menuju Grehasta Asrama
merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya.
Di dalam Grehasta inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan, yakni memenuhi
:
1) Dharma yakni
aturan – aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman pada Dharma
Agama dan Dharma Negara.
2) Artha yakni
segala kebutuhan hidup berumah tangga berupa material dan pengetahuan.
3) Kama yakni
rasa kenikmatan atau kebahagiaan hidup yang diwujudkan dalam berumah tangga.
d. Syarat dan Sahnya Perkawinan
System
perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat
yang telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi
untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan
pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil.
Hal tersebut
ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2
yang berbunyi;“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Namun, R.
Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada
satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain
daripada suatu tindakan administrasi
Hal tersebut
diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan
bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala perkawinan di
Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah
menyatakan sah.
Meskipun
demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan, karena
pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh
Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
Berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra
maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi,
sebagai berikut:
1.
Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada
persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang
tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari
calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka
yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam
ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi,
hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang
berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam
wicisyate,
Itaresam tu warnanam
itaretarkamyaya”
“Pemberian
anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air
suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan
dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
2.
Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah
mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan
perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama
Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava
Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah
mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya
hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat
yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur
yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus
memilihkan calon suami yang sederajat untuknya.
Dari sloka tersebut disimpulkan umur
yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya
setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
1. Sebagaimana
diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu
perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava
Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan
Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan
laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu
lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan
wanita yang tidak memiliki etika.
2. Selain itu
persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon
pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat
keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat
keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat
keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto
copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau
sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu
perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra
II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair
nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah
pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan
pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi
pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi
golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun
setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Selain itu suatu pawiwahan dapat
dikatakan sah apabila memenuhi syarat yang diselenggarakan dalam ajaran agama
hindu, adapun ajarannya adalah sebagai berikut :
1)
Pawiwahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut
ketentuan hukum hindu
2)
Untuk mengesahkan pawiwahan menurut hukum hindu harus
dilakukan oleh pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk
melaksanakan upacara ini
3)
Suatu pawiwahan dikatakan sah apabila kedua mempelai
menganut kepercayaan yang sama
4)
Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pawiwahan
dikatakan sah apabila telah melaksanakan upacara byakala atau biokaonan sebagai
rangkaian upacara wiwaha
5)
Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan
pernikahan
6)
Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah
haid), sakit jiwa atau sehat secara jasmani dan rohani
7)
Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan
wanita minimal 18 tahun
8)
Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah atau
sepinda
Selain itu juga agar pawiwahan
dianggap sah maka harus dibuatkan akta pernikahan sesuai dengan undang – undang
yang berlaku. Orang yang berwenang melaksanakan upacara pawiwahan adalah
pendeta yang memiliki status Loka Pala Sraya. Demikian juga cara pengajuan
pembatalan pawiwahan menurut pasal 23 bab IV undang – undang no 1 tahun1974
sebagai berikut :
1.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari
suami atau istri
2.
Suami atau istri
3.
Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum
diputuskan
4.
Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 undang –
undang no 1 tahun 1974 dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan
( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah
terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti,
umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang
telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara.
Dengan melakukan upacara dengan
dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan
didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa.
Hal tersebut dijelaskan dalam Manava
Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma
manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam
sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum
yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang
keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima
kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”
( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam
pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat
maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu
agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani.
Selain itu menurut kitab Yajur Veda
II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan
Upacara, sebagai berikut:
1)
Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan)
simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam
berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya
menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)
Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan
adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat
untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa
( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada
masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3)
Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan
yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen
Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4)
Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya
dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab
suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña
tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu
keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya
sebagai pajangan biasa.
5)
Lascarya artinya
suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6)
Sastra artinya suatu yajña
harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam
pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal
ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7)
Daksina artinya adanya suatu penghormatan
dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas
kepada pendeta yang memimpin upacara.
8)
Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña
harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9)
Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara
yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah
tamah.
10)
Nasmita artinya suatu upacara yajña
hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
e. Sistem Perkawinan Hindu
Sistem pawiwahan adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang
menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat
dinyatakan sah sebagai suami istri. Menurut Dharmasastra ada delapan sistem
perkawinan yakni :
1)
Brahma
wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli weda dan
berperilaku baik setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita (Manawa Dharmasastra III.27)
2)
Daiwa
wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada pendeta yang melaksanakan upacara atau
yang telah berjasa (Manawa Dharmasastra III.28)
3)
Arsa wiwaha,
adalah
perkawinan yang dilakukan setelah wanita mengikuti aturan yakni menerima seekor
atau dua pasang lembu dari pihak mempelai laki – laki (Manawa Dharmasastra III.29)
4)
Prajapati
wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra kamu berdua
melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan kepada
pengantin pria (Manawa Dharmasastra
III.30).
5)
Asura
wiwaha, adalah bentuk perkawinan dimana
setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan dan
didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita
itu untuk dimiliki (Manawa Dharmasastra
III.31)
6)
Gandharwa
wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara kedua mempelai (Manawa Dharmasastra III.32)
7)
Raksasa
wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik wanita dengan kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33)
8)
Paisaca
wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan membuat bingung
atau mabuk (Manawa Dharmasastra III.34)
Dari delapan bentuk perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang dalam
kehidupan baik oleh hukum agama atau hukum negara yaitu sistem perkawinan
Raksasa dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem yaitu :
a.
Sistem mapadik
atau meminang, pihak calon serta
keluarga memepelai laki – laki datang ke rumah calon mempelai wanita untuk
meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telasa saling
mengena da ada kesepakatan untuk hidup berumah tangga. Inilah sistem yang
dianggap paling terhormat
b.
Sistem ngerorod
atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka dengan pasangan
dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu orang tua dari
mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari
c.
Sistem nyentana
atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status hukum dimana calon
mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan pria berstatus sebagai
pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki – laki tinggal di rumah mempelai
wanita.
d.
Sistem melegandang,
bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta.
Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari Undang – undang Perkawinan diatur
tentang perkawinan campurang antara mereka yang berbeda warga negara dan agama.
Menurut Ordenansi perkawinan campuran maka hukum agama si suami yang harus
diikuti.
Berhubungan dengan hal itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik
dan dipandang sah menurut Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha
tersebut kepada pihak wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara
pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami.
Setelah itu, barulah upacara tersebut dilaksanakan.
f. Perkawinan Yang Dilarang
Pawiwahan dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi
persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara
hukum dan agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak
untuk mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama.
Selain itu pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan
kekerasan. Misalnya, mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa
yang disengaja dalam perkawinan maka pelaku dapat dikenakan sanksi.
Menurut dharmasastra pencegahan
dilakukan apabila ada indikasi perkawinan sapinda.menurut
undang – undang no 1 tahun 1974 suatu perkawinan dapat dibatalkan sesuai dengan
ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya sebagai berikut :
1)
Bertentangan dengan hukum agama
2)
Calon masih terikat dengan perkawinan atau tidak single
3)
Bila clon suami atau istri mempunyai cacat yang
disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu.
4)
Perkawinan yang masih ada hubungan darah
5)
Apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan
suami menurut hukum Hindu
g. Tata Pelaksanaan Perkawinan Hindu Di Bali
Perkawinan menurut Hindu di Bali dari ritualnya terbagi menjadi beberapa
tingkat yaitu kecil/nista, sedang/madya dan besar/utama. Namun perlu digaris
bawahi dalam perkawinan ada upacara pembersihan terhadap kedua mempelai yakni
sukla (sperma) swanita (ovum) sehingga mampu membentuk embrio yang bersih atau
disebut manik.
Hubungan seks yang tidak didahului dengan upacara pabyakalaan atau disebut kama keparagan atau MBA (married
by accindent) akan menghasilkan rare
dia-diu atau rare bebinjat.
Adapun pelaksanan upacara perkawinan secara rinci sebagai berikut :
1. Tata Urutan Upacara
a)
Penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu
halaman rumah sebagai simbol untuk meleyapkan unsur – unsur negatif yang
mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya upacara
b)
Mabyakala adalah upacara pembersihan secara lahir
batin terhadap kedua mempelai terutama sukla swanita yaitu sel benih pria dan
sel benih wanita agar menjadi jani yang suputra
c)
Mepejati atau pesaksian adalah upacara kesksiaan
tentang pengesahan perkawinan kehadapa Ida Hyang Widhi dan masyarakat bahwa
kedua mempelai telah meningkatkan diri sebagai suami istri.
2. Sarana Upakara
Jenis upakara yang digunakan upacara ini secara sederhana rinciannya
sebagai berikut :
a)
Banten pemagpag, segehan dan tummpeng dadahan
b)
Banten pesaksi, pradaksina dan ajuman
c)
Banten untuk mempelai byakala, banten kurenan dan pengulapan
pengambean
Adapun
kelengkapan upakara lainnya seperti :
a)
Tikeh
dadakan,adalah tikar kecil yang terbuat dari pandan hijau yang mengadung simbol
kesucian si gadis
b)
Papegatan, berupa dua
buah canang, dapdap yang ditancapkan di tempat upacara, jarak yang satu dengan
yang lainnya agak berjauhan dengan
benang putih dalam keadaan terentang
c)
Tetimpug, beberapa
pohon bambu kecil yang masih muda yang ada ruasnya sebanyak lima atau tujuh
ruas
d)
Sok dagang, yaitu sebuah
wakul yang berisi buah – buahan, rempah – rempah dan keladi
e)
Kala
sepetan, disombolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang
diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun
dapdap. Kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang menerima pakala –
kalaan
f)
Tegen –
tegenan, yaitu batang tebu dan dapdap yang kedua ujungnya berisi gantungan bingkisan
nasi dan uang.
3. Jalannya Upacara
a) Upacara penyambutan kedua mempelai
Begitu
mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara
mesegehan dan tumpeng dandanan. Kemudian kedua mempelai dududk ke tempat yang
telah disediakan untuk menunggu upacara selanjutnya.
b) Upacara Mabyakala
Pertama
dilaksanakan upacara puji astuti oleh pemimpin upacara. Selanjutnya membakar
api tatipug sampai berbunyi sebagai sebuah simbol pemberitahuan kepada bhuta
kala yang akan menerima pekala – kalaan. Kedua mempelai melangkahi sebanyak
tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pebyakalaan. Kedua tangan mempelai
dibersihkan dengan senggau tepung tawar, kemudian natab pabyakalaan.
Selanjutnya masing – masing ibu jari kaki kedua mempelai disentuhkan ke telur
ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian upacara penglukatan.
Selanjutnya mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut murwa
daksina. Saat berjalan, mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok
dandangan (simbol menggendong anak) dan pria memikul tegen – tegenan (simbol
bekerja keras untuk mencari nafkah). Setiap melewati kala sepetan, ibu jari
kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul lambang kala sepetan.
c) Upacara Mepejati atau pesaksiaan
Dalam
upacara pesaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti sebanyak lima kali
kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Kemudian, kedua mempelai diperciki
tirtapembersih oleh pemimpin upacara. Lalu nantab banten widi widhana dan
mejaya – jaya. Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan samskara wiwaha.
Terakhir penandatangnan surat perkawinan oleh kedua pihak dihadapana saksi dan
pejabat yang berwenang.
Kasus
perceraian diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, ada masalah
di balik aturan hukum positif terutama ketentuan yang mengatur masalah
perceraian ini. Reaksi kritis disulut para pemangku masyarakat adat di Bali. UU
ini dinilai tidak mengakomodir keseimbangan penghargaan terhadap eksistensi
Hukum Adat Bali dan Agama Hindu.
Aturan ini
menegaskan bahwa perceraian sah setelah ada keputusan dari pengadilan. Tetapi,
ketentuan ini tidak menyertakan peran Hukum Adat Bali (prajuru desa pakraman)
dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya dialami oleh warga yang tertimpa musibah perceraian.
Walau keputusan pengadilan mengesahkan gugatan perceraiannya, tetapi tidak
diketahui sebagian besar krama desa dan tidak segera dapat diketahui prajuru
desa pakraman.
Forum
Pesamuhan Agung ke-3 Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berlangsung 15
Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Bali mengeluarkan sikap
kristisnya. Selain merespons bentuk perkawinan biasa, nyentana, dan pada
gelahang, juga masalah upacara patiwangi dalam perkawinan beda wangsa, forum
ini juga merumuskan pernyataan sikap atas ketentuan UU Perkawinan tersebut.
Berikut isi
rumusan selengkapnya. Hukum Adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu
perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan
nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri).
Dalam
perkembangan selanjutnya, ada kalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya
tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena
masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang
disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam
masyarakat Bali, sehingga perlu segera disikapi.
Selain
perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara
hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951
berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951,
ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih
dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod.
Hal ini
perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia
dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik
selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan
perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan
menurut Hukum Adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman)
dan Agama Hindu.
Sesuai
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali
dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama
Hindu, sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan
di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan
uraian tersebut, tampak jelas Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan
penghargaan yang seimbang kepada Hukum Adat Bali dan Agama Hindu, dalam
hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu.
Ketentuan hukum Adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya
dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian.
Terbukti,
perceraian dikatakan sah setelah ada keputusan pengadilan, tanpa menyebut peran
Hukum Adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran Agama Hindu. Akibatnya, ada
sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan keputusan pengadilan,
tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera
dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman.
Kenyataan
ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan Hukum Adat Bali dan
menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama
desa bersangkutan.
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut, Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan
upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara
perkawinan. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan
melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan
melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Agar proses
perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan
dengan ketentuan pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian
harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman.
Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian. Apabila
terjadi perceraian, terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat,
kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh
keputusan.
Selain itu,
ada penyampaian salinan keputusan perceraian atau akta perceraian kepada
prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar
atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya
melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan ajaran Agama Hindu.
Prajuru
mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa
pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut Hukum
Nasional dan Hukum Adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan
suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman setelah perceraian.
Selain itu,
ada akibat hukum jika terjadi perceraian suami - istri. Setelah perceraian,
pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam
perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau
mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di
lingkungan keluarga asal. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta
gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi
sama rata).
Setelah
perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan
hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa,
dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Hak Asuh Anak Setelah dalam Kasus
Perceraian
Hak asuh
anak merupakan permasalahan yang sering muncul pada pasangan yang bercerai. Hak
asuh anak seringkali menjadi hal yang sulit diputuskan oleh pengadilan yaitu
pada siapa anak ini akan dibesarkan, ayah atau ibunya.
Perceraian
dalam Hindu merupakan kasus yang hampir dilarang, apalagi bila diajukan oleh
sang istri. Sebab dalam Hindu hanya memberikan sedikit hak pada wanita. Sementara
itu, hak asuh anak dalam Agama Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di
negara tersebut.
Kebanyakan,
seperti hak asuh anak diberikan kepada salah satu pihak orang tua yang mampu
menjamin kesejahteraan sang anak. Kesejahteraan itu meliput mencukupi kebutuhan
fisik dan moral, serta kasih sayang. Adapula negara yang menambahkan beberapa
aturan, misalnya di India, seperti: anak - anak diasuh oleh ibunya, anak
perempuan yang beranjak dewasa diasuh oleh ibunya, sementara anak laki-laki
yang di atas 16 tahun berhak memilih akan tinggal dengan siapa nantinya.
Sementara
itu, jika seorang ibu diketahui telah menelantarkan anaknya dengan disengaja
maupun tidak, atau keberatan merawat si anak, maka hak asuh terhadap anaknya
akan dicabut dan diurus kembali ke pengadilan.
Jika kedua
orang tua tidak ada yang sanggup memenuhi kebutuhan sang anak atau
berkeberatan, maka pihak ketiga boleh mengambil hak asuh tersebut. Pihak ketiga
boleh berasal dari kakek/nenek, atau saudara yang lain selama mereka mampu
menjamin kesejahteraan sang anak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1
Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu simpulan,
bahwa perkawinan itu adalah sebuah janji suci untuk menjalani hidup bersama
baik suka ataupun duka. Dalam agama hindu pernikahan itu adalah sebuah
kewajiban untuk melangsungkan keturunan dengan melahirkan keturunan inilah
sekiranya, anak suputra ini mampu menyebrangkan orang tuanya dari lumpur dosa
sehingga orang tuanya masuk surga.
3.1.2
Dapat
disimpulkan pula bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah
mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang
putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia
(jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa). Ada beberapa kiat yang harus
dipenuhi sebelum melaksanakan pernikahan seperti adanya persetujuan dari kedua
calon mempelai, cukup umur, siap secara fisik dan mental. Setelah memenuhi
persyatan baik secara hukum dan agama maka kedua calon siap untuk melangsungkan
pernikahan.
Pawiwahan
dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan
untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara hukum dan
agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk
mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama.
Selain itu
pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan kekerasan.
Misalnya, mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa
yang disengaja dalam perkawinan maka pelaku dapat dikenakan sanksi.
Pernikahan
dalam perseptif agama Hindu yang kental dengan tradisi upacara menggunakan
bebanten yang penuh dengan makna, dan sekiranya pernikahan masih tergolong
manusia yadnya dan merupakan upacara yang terakhir dalam manusia yadnya hingga
akhirnya memasuki jenjang kehidupan yang disebut Grehasta Asrama.
Selain
melangsungkan upacara pernikahan, pernikahan dianggap sah apabila, hadir tri upasaksi yakni saksi dari Tuhan,
Manusia, dan bhuta kala.
3.1.3
Sementara
itu, perceraian dalam Hindu, selain berdasarkan keputusan pengadilan, keputusan
dari Hukum Adat Bali juga berperan penting dalam mengesahkan perceraian itu.
Dalam proses perceraian, pasangan yang akan bercerai harus menyelesaikan
perceraian secara adat dahulu, baru kemudian dapat mengajukannya ke pengadilan
untuk mendapat keputusan. Sedangkan hak
asuh anak dalam Agama Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di negara
yang bersangkutan.
3.2 Saran- saran
a.
Untuk masyarakat
Sebelum melakukan perkawinan
hendaknya dipikirkan dengan matang,dimana perkawinan tersebut harus sesuai
dengan syarat syarat yang telah ditentukan, mendapatkan restu dari orang tua
dan dijalankan sesuai dengan urutan upacara yang benar agar mendapatkan
perkawinan yang sah serta di saksikan oleh 3 unsur saksi seperti yang telah
disebutkan. Sebagai saran sebaiknya perkawinan itu dilaksanakan dengan sistem
memandik atau meminang karena sistem ini dilaksanakan dengan cara terhormat.
Agar tidak sampai terjadi adanya perceraian.
Dan apabila terpaksa menggunakan jalur perceraian, hendaknya memikirkan dampak
baik dan buruknya terhadap hubungan Anda, keluarga, diri sendiri, dan mental
anak (jika sudah punya anak).
DAFTAR PUSTAKA
http://dharmavada.wordpress.com/2009/07/28/idealnya-perkawinan-hindu/
Senin,
13 Oktober 2014 jam 08. 25 Pm
Senin, 13 Oktober 2014 jam 08. 43 Pm
Senin, 13 Oktober 2014 jam 08. 55 Pm
Senin, 13 Oktober 2014 jam 09. 13 Pm
Sudirga, Ida
Bagus, dkk. 2007. Widya Dharma Agama
Hindu. Jakarta : Ganesa Exact